Ijtihad
adalah suatu usaha besar yang memerlikan sumber daya manusia yang secara ilmiah
berkualitas tinggi. Karena kualitasnya yang tinggi itu dia disebut mujadid
dalam agama. Kualitas tersebut kelihatannya terdapat pada figur beberapa
mujahid mandiri.
Pada masa
sekarang, masalah agama itu semakin luas dan berkaitan dengan hampir seluruh
bidang kehidupan manusia yang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan
ilmu dan teknologi yang semakin pesat sehingga ilmu seseorang tidak mungkin
meliputi seluruh bidang secara menyeluruh dan paripurna. Hal ini mendorong dan
mengarahkan seseorang untuk menjadi spesialis yang mendalami bidang ilmu
tertentu saja dengan membatasi diri atau sama sekali tidak mempelajari bidang
lainnya.
Pada dasarnya
ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak
dijelaskan dalam al-qur’an dan hadits . Hal ini sejalan dengan apa yang dapat
di tangkap dari dialog anatara nabi dengan mu’adz ibn jabal yang menyatakan
bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari al-qur’an dan
hadits. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan
ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam
al-qur’an dan hadits.
Tidak
terdapat penjelasan hukum dalam al-qur’an dan hadits itu dapat dilihat dari dua
segi . Pertama, al-qur’an dan hadits
secara jelas dan langsung tidak menampakannya, tidak secara keseluruhan dan
tidak pula sebagiannya. Kedua, secara jelas langsung menyeluruh memang tidak
ada ketentuan hukumnya dalam al-qur’an dan hadits , namun secara langsung atau
bagiannya ada penjelasannya.
Tidak boleh
melakukan ijtihad jika dalam masalah yang akan dipecahkan itu sudah ada nash yang jelas
menerangkannya.ijtihad dalam istilah
ushul yaitu melakukan jihad untuk sampai kepada hukum syar’i dengan dalil
menerangkan terperinci mengenai syari’at. Jika suatu peristiwa maksud untuk
diketahuinya hukumnya menurut syar’i yang di dalamnya terdapat dalil qathi’
yang menunjukan maka yang seperti ini bukan kapasitas dari ijtihad.
Diatas inilah
tegaklah hukum positif dan hukum negara. Hukum ini tertulis dalam kitab
undang-undang. Selama ada undang-undang itu yang jelas menerangkan dan mengatakan
maka disinilah teks undang-undangnya itu tidak boleh ditakwilkan dan diubah.
Kalau hakim secara pribadi berfikir, bahwa teks undang-undang itu tidak adil,
maka tempat kembali hakim itu dalam hal ini ialah kepada orang yang
mensyariatkannya itu. Ucapan hakim itu hanya ringkas saja yaitu hukum itu
menutut kehendak undang-undang.
sumber: Ilmu Ushul
Fikih, Syekh Abdul Wahab Khallat,Meretas Kebekuan Ijtihad , Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar