Minggu, 11 November 2012

HUKUM IJTIHAD


Ijtihad adalah suatu usaha besar yang memerlikan sumber daya manusia yang secara ilmiah berkualitas tinggi. Karena kualitasnya yang tinggi itu dia disebut mujadid dalam agama. Kualitas tersebut kelihatannya terdapat pada figur beberapa mujahid mandiri.
Pada masa sekarang, masalah agama itu semakin luas dan berkaitan dengan hampir seluruh bidang kehidupan manusia yang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat sehingga ilmu seseorang tidak mungkin meliputi seluruh bidang secara menyeluruh dan paripurna. Hal ini mendorong dan mengarahkan seseorang untuk menjadi spesialis yang mendalami bidang ilmu tertentu saja dengan membatasi diri atau sama sekali tidak mempelajari bidang lainnya.
Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam al-qur’an dan hadits . Hal ini sejalan dengan apa yang dapat di tangkap dari dialog anatara nabi dengan mu’adz ibn jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari al-qur’an dan hadits. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam al-qur’an dan hadits.
Tidak terdapat penjelasan hukum dalam al-qur’an dan hadits itu dapat dilihat dari dua segi .  Pertama, al-qur’an dan hadits secara jelas dan langsung tidak menampakannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Kedua, secara jelas langsung menyeluruh memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-qur’an dan hadits , namun secara langsung atau bagiannya ada penjelasannya.
Tidak boleh melakukan ijtihad jika dalam masalah yang akan dipecahkan  itu sudah ada nash yang jelas menerangkannya.ijtihad  dalam istilah ushul yaitu melakukan jihad untuk sampai kepada hukum syar’i dengan dalil menerangkan terperinci mengenai syari’at. Jika suatu peristiwa maksud untuk diketahuinya hukumnya menurut syar’i yang di dalamnya terdapat dalil qathi’ yang menunjukan maka yang seperti ini bukan kapasitas dari ijtihad.
Diatas inilah tegaklah hukum positif dan hukum negara. Hukum ini tertulis dalam kitab undang-undang. Selama ada undang-undang itu yang jelas menerangkan dan mengatakan maka disinilah teks undang-undangnya itu tidak boleh ditakwilkan dan diubah. Kalau hakim secara pribadi berfikir, bahwa teks undang-undang itu tidak adil, maka tempat kembali hakim itu dalam hal ini ialah kepada orang yang mensyariatkannya itu. Ucapan hakim itu hanya ringkas saja yaitu hukum itu menutut kehendak undang-undang.
sumber: Ilmu Ushul Fikih, Syekh Abdul Wahab Khallat,Meretas Kebekuan Ijtihad , Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar